Motivasi Campur Sari :)

View Post pemenang selalu jadi bagian dari jawaban;
pecundang selalu jadi bagian dari masalah.

pemenang selalu punya program;
pecundang selalu punya kambing hitam.

pemenang selalu berkata, "Biarkan saya yang mengerjakannya untuk Anda";
pecundang selalu berkata, "Itu bukan pekerjaan saya";

Pemenang selalu melihat jawab dalam setiap masalah;
pecundang selalu melihat masalah dalam setiap jawaban.

Pemenang selalu berkata, "itu memang sulit, tapi kemungkinan bisa";
Pecundang selalu berkata, "Itu mungkin bisa, tapi terlalu sulit".

Saat pemenang melakukan kesalahan, dia berkata, "saya salah";
saat pecundang melakukan kesalahan, dia berkata, "itu bukan salah saya".

Pemenang membuat komitmen-komitmen;
Pecundang membuat janji-janji.

Pemenang mempunyai impian-impian;
Pecundang punya tipu muslihat.

Pemenang berkata, "Saya harus melakukan sesuatu";
Pecundang berkata, "Harus ada yang dilakukan".

Pemenang adalah bagian dari sebuah tim;
Pecundang melepaskan diri dari tim.

Pemenang melihat keuntungan;
Pecundang melihat kesusahan.

Pemenang melihat kemungkinan-kemungkinan;
Pecundang melihat permasalahan.

Pemenang percaya pada menang-menang (win-win);
Pecundang percaya, mereka yang harus menang dan orang lain harus kalah.

Pemenang melihat potensi;
Pecundang melihat yang sudah lewat.

Pemenang seperti thermostat;
Pecundang seperti thermometer.

Pemenang memilih apa yang mereka katakan;
Pecundang mengatakan apa yang mereka pilih.

Pemenang menggunakan argumentasi keras dengan kata2 yang lembut;
Pecundang menggunakan argumentasi lunak dengan kata2 yang keras.

Pemenang selalu berpegang teguh pada nilai2 tapi bersedia berkompromi pada hal2 remeh;
Pecundang berkeras pada hal2 remeh tapi mengkompromikan nilai2.

Pemenang menganut filosofi empati, "Jangan berbuat pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain perbuat pada Anda";
Pecundang menganut filosofi, "Lakukan pada orang lain sebelum mereka melakukannya pada Anda".

Pemenang membuat sesuatu terjadi;
Pecundang membiarkan sesuatu terjadi.

Para Pemenang selalu berencana dan mempersiapkan diri, lalu memulai tindakan untuk menang...
Para pecundang hanya berencana dan berharap ia akan menang ...

Jadilah engkau seperti pohon mangga...
Mereka melemparimu dengan batu, tapi kau membalasnya dengan buah
Mereka boleh mematahkan pedangku, tetapi sekali-kali kebatilan yang mereka usung tidak akan dapat mematahkan kebenaran yang aku bawa.

One of the best things we can do in our lives is this:
Begin again.

Begin to see yourself as you were
When you were the happiest and strongest you have ever been.

Begin to remember what worked for you
(and what worked against you),
And try to capture the magic again.

Begin to remember how natural it was when you were a child --
To live a lifetime each day.

Begin to forget the baggage you have carried with you
For years:
The problems that don't matter anymore,
The tears that cried themselves away,
And the worries that are going to wash away
On the shore of tomorrow's new beginnings.

Tomorrow tells us it will be here every new day of our lives;
And if we will be wise,
We will turn away from the problems of the past
And give the future -- and ourselves -- a chance
To become the best of friends.
Sometimes all it takes is a wish in the heart to let yourself ..
Begin again.
" Kesuksesan bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci kesuksesan. "

jika Kamu bosan dengan pekerjaanmu, bekerjalah sampai kamu putus asa,dan ketika sudah putus asa ,maka tetaplah bekerja dalam keputus asaan itu

jika Kamu bosan dengan pekerjaanmu, bekerjalah sampai kamu putus asa,dan ketika sudah putus asa ,maka tetaplah bekerja dalam keputus asaan itu

Nasehat

Ketika Hasibaun, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh perhatian ia mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan sungguh-sungguh, bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang berharga. Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang lebat dab telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang baik memancar.

Nasihat orang tua itu selamanya berharga. Karena itu, setiap orang tak berani memulai sesuatu sebelum diminta nasihatnya. Dan jikalau orang lupa meminta nasihat kepadanya, mereka itu merasa berdosa sekali. Namun demikian, biar orang lupa dan tak butuh nasihatnya pun, ia mampu memperlihatkan kebesaran jiwanya. Cepat-cepat ia memberikan nasihatnya. Dengan penuh kesungguhan dan dengan segala pertimbangan yang sangat masuk akal.

Pada setiap perkumpulan namanya pastilah tercantum sebagai penasihat. Kalau tidak diminta, ia sendiri akan menawarkan dirinya. Dan tak satu pun dari perkumpulan itu yang menolak. Meski di antara perkumpulan itu saling berlawanan asas.

Dan ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya dipandangnya berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek saja.

"Itulah semua," ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat. Apa yang harus kulalkukan lagi?"

Sebagaimana mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang keramat. Lebih dulu ia lepaskan punggungnya ke sandaran sofa dengan selelahnya. Diisapnya lagi cangklongnya beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung, dipandangnya beberapa jurus. Seolah pada asap itu terlukis segala ilham nasihatnya.

"Ini memang sulit," katanya dengan pasti. "Apabila kau betul-betul menurutkan nasihatku, tidaklah akan sulit benar. Mudah benar mengatasinya."

Anak muda itu tidak bergerak dari sikapnya semula, meski ia gelisah benar oleh lambatnya orang tua itu bicara.

"Mari kita mulai dari awal," kata orang tua itu selanjutnya. "Sebenarnya apa yang kau kemukakan itu, menurut timbanganku, tak mungkin bisa jadi. Coba. Seorang gadis, ya seorang gadis. Apalagi gadis desa pula. Ia pasti sangat pemalu. Sopan. Dan halus budinya."

Hasibuan merasa, bahwa ucapan orang tua itu seperti menuduhnya telah berbicara yang bukan-bukan. Dan ia mau meyakinkan orang tua itu. Tapi sebelum ia selesai menyusun kalimat yang hendak di ucapkannya, orang itu berkata lagi. Katanya, "Aku sudah tua. Sudah banyak pengalaman. Aku sudah mengerti benar segala sifat dan fiil manusia. Bahkan dari setiap muka seseorang aku dapat membaca segalanya. Tentang itu aku takkan silap. Percayalah."

Hasibuan jadi lega hatinya.

"Coba kaubayangkan kembali. Seorang gadis desa yang seharusnya pemalu, tahu adat, sopan, duduk disamping seorang laki-laki tidak di kenal di atas bis. Omong-omong sedikit dan sudah pasti tentang hal-hal yang tidak berarti. Lalu ketika hendak berpisah, laki-laki itu bertanya, ‘Mau ke mana?’ Dan gadis itu menjawab dengan tegas, ‘Ke mana Abang, ke sana aku.’ Masya Allah. Tentulah gadis itu gila. Ya, tentulah dia gila," kata orang tua itu seraya memandang kepada Hasibuan yang duduk di hadapannya. "Apa kau tak sadar gadis itu gila?"

"Tidak sama sekali."

"Tentu saja kau tidak sadar. Karena kau masih terlalu muda. Belum banyak pengalaman. Percayalah kepadaku, orang tua yang sudah banyak pengalaman ini. Gadis itu pasti gila. Nah, nasihatku dalam hal ini, begini: Jauhi dia. Elakkan dia bila bertemu di jalan. Kalau bertemu juga, jangan disahuti tegurannya. Mudah-mudahan, jika kau ikuti nasihatku ini, Insya Allah kau pasti selamat. Dunia akhirat."

Hasibuan bertanya pada dirinya sendiri. Dapatkah ia mengikuti nasihat orang tua itu? Kemarin gadis itu, yang sampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk disampingnya di atas bis. Setelah omong-omong yang tidak berarti, tiba-tiba gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya. Bilang, kepalanya sakit benar. Dan hati mudanya menyuruh memeluk gadis itu. Dan dipeluknya gadis itu. Kemudian, gadis yan tak hendak berpisah lagi dengan dia itu, ditumpangkannya ke rumah seorang kenalannya di tepi kota. Dan pada gadis itu ia sudah berjanji hendak menemuinya besok pagi.

Ketika pagi datang, sebelum ia menemuinya, lebih dulu ia bicara kepada orang tua itu untuk meminta nasihatnya. Nasihat orang tua itu diikutinya. Tak jadi ia menemui gadis itu.

"Bagaimana?" tanya orang tua itu ketika mereka sedang makan siang.

"Tak aku temui dia."

"Bagus. Bagus," kata orang tua itu gembira. "Nasihatku, nasihat orang tua. Nasihat orang tua itu pasti benar, karena orang tua itu telah lama hidup dan banyak pengalaman."

"Tapi, Pak, jam sembilan tadi, dia yang datang menemuiku di kantor."

"Tentu saja kau lari terbirit-birit. Ha ha ha. Tampak-tampak saja olehku, bagaimana kau melarikan diri. Ke dalam kakus tentu, ya? Ha ha ha. Dan, ya betapa lucunya itu. Gadis itu tentu dengan sia-sia saja menunggumu, bukan? Dapat saja kubayangkan, bagaimana kecewanya meninggalkan kantormu."

"Tidak. Tidak seperti itu."

"Hah? Jadi kau bertemu juga?"

"Ya. Ketika pesuruh kantor memberi tahu, ada tamu untukku, aku tak kira dia yang datang. Ketika ia melihatku ia menangis tersedu-sedu. Hingga semua orang di kantor jadi tahu persoalanku. Aku malu sekali. Dan gadis itu, meski bagaimana aku katakan, tak hendak pergi. Lalu kemudian….."

"Lalu kemudian?" sela orang tua itu dengan rasa ingin tahunya.

"Aku antarkan dia kembali ke rumah kenalanku itu."

Orang tua itu begitu kecewanya. Dipandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak menaksir isi kepalanya. Diletakkan sendok garpunya. "Kalau kemarin, dia kaubawa ke rumah kenalanmu itu, itu pantas. Karena hari sudah malam. Tapi sekarang, hari sudah siang. Dia sudah bisa pulang ke rumah orang tuanya di desa. Ada kau suruh dia pulang ke rumah orang tuanya?"

"Malah kuberi dia ongkos?"

"Tapi dia tidak mau?"

"Ya. Dia tak mau. Uangku tak diterimanya. Dia menangis terus. Aku kehilangan akal. Tak tahu aku apa yang harus kuperbuat lagi. Lalu, supaya jangan bikin rewel di kantor, aku bawa kembali ke rumah kenalanku itu. Waktu itu, Pak, aku mendoa-doakan agar aku bisa ketemu Bapak. Biar aku dapat nasihat Bapak."

Mendengar kalimat terakhir itu, hilanglah sinar mata kecewa orang tua itu. Diambilnya lagi sendoknya. Dan dia makan lagi. Ia mngunyah lambat sekali, sambil merenung-renung juga. Lama kemudian ia berkata lagi, "Hm. Seorang gadis. Gadis desa pula. Yang mestinya pemalu, tahu adat, berkesopanan tinggi, tidaklah akan mau berbuat demikian. Tentunya dia itu gila. Atau sekurang-kurangnya berbuat gila-gilaan. Tentu ada sebabnya. Sangkamu apa sebabnya?"

"Tak dapat aku menyangka apa-apa. dia hanya terus menangis bila di dekatku. Dia tak bicara apa-apa kepadaku."

"Barangkali kepada kenalanmu itu dia ada bercerita?"

"Kepada kenalanku itu, tidak. Kepada istrinya, ada. Katanya, dia tak hendak pulang ke rumah orang tuanya. Ibunya sudah lama mati. Ketika ia masih kecil benar. Lalu ayahnya kawin lagi. Tiga tahun yang lalu ayahnya meninggal pula. Dua hari yang lalu, ibu tirinya marah-marah kepadanya. Dan mengusirnya pergi. Ia pergi ke Padang. Tiba di Padang, dia tak tahu mau ke mana. Lalu kembali lagi dia ke sini."

"Omong kosong. Itu cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untukmenarik kasihan hati orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu terjadi. Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi dia masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau yang beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan anak gadis yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"

"Tidak," kata anak muda itu dengan suara yang kedengarannya melukiskan bimbang hatinya.

"Tentu saja kau tak sampai berpikir sejauh itu," kata orang tua itu pula, "Kau masih muda. Sedang aku sudah tua. Sudah lama hidup dan banyak pengalaman. Aku sudah tahu betul akan kongkalikong hidup manusia ini."
Di pandangnya Hasibuan tenang-tenang, dengan perasaan hati yang puas akan keunggulan dirinya. Tapi kemudian ia meneruskan menambah keunggulannya. Katanya, "Ada hal-hal yang menyebabkan ia tak mau kembali ke kampungnya, menurut sangkamu? Apa tidak terpikirkan olehmu, sebabnya dia tak mau kembali itu, karena memangnya dia telah diusir orang kampungnya?"

"Apa kira-kira kemungkinannya lagi, Pak?"

"Kemungkinannya banyak. Di antaranya minta penyelidikan, yang mana yang lebih benar dari segala macam kemungkinan itu. Tapi bertengkar dengan ibu tiri, terang itu bukan suatu alasan untuk lari. Menurut hematku, gadis itu mungkin tidak gadis lagi. Kegadisannya telah diambil atau diberikannya kepada seorang laki-laki. Kemudian ketahuan. Tapi laki-laki itu tak hendak mengakuinya. Karena malu, dia lari ke Padang. Kemudian dia bertemu dengan engkau. dan punya pekerjaan kantor. Mengerti kau maksudku? Tidak? Siapa tahu, barangkali dia sedang memasang perangkap untukmu."

"Tidak mungkin sampai demikianbenar," katra Hasibuan mengemukakan pendapatnya. Tapi cepat kemudian ia seperti terkejut oleh ucapannya sendiri. Dan kepalanya tertekur menyembunyikan muka merahnya.

"Nah, ucapanmu itu, sudah menunjukkan betapa mudamu. Mukamu, gerakmu, dapat aku baca, seperti aku membaca koran saja. Itu saja takkan silap," kata orang tua itu seraya menusuk sepotong daging dengan garpunya. "Coba bayangkan," katanya seterusnya, setelah daging itu diletakkan di piringnya. "Seorang gadis desa yang seharusnya pemalu, gadis Minang lagi, dengan begitu saja menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang baru dua jam dikenalnya." Ditatapnya lagi wajah anak muda itu, hendak tahu apakah kata-katanya telah cukup nyata terbayang olehnya. Setelah ia merasa bahwa kata-katanya cukup terbayang, di sambung lagi perkataannya, "Buaya itu, Hasibuan, bukan jantan saja jenisnya. Mengerti kau. Siapa tahu, barangkali dia sedang mengakalimu. Sedang memikatmu supaya kaukawini dia. Karena mungkin jadi sudah hamil. Sekurang-kurangnya, dia hendak mengorek isi kantungmu sampai tandas. Itu paling kurang. Nasihatku dalam hal ini, begini. Meski dia menangis sampai mengeluarkan air mata darah, jangan kaupeduli. Serahkan dia pada polisi. Titik."

"Menyerahkan dia pada polisi?" tanya anak muda itu tercengang.

"Bukan untuk memenjarakannnya. Tapi untuk menyerahkan kembali ke keluarganya. Karena kau tidak kenal orang tuanya, bukan? Dan dia tidak hendak kembali ke orang tuanya itu. Sebab aku melihat sesuatu yang lebih buruk lagi bakal menimpa kau. Jadi sebelum hal itu terjadi, secepatnya kauberitahukan kepada polisi. Tambah cepat, tambah baik."

Mendengar nasihat itu, nasi yang terakhir tak dapat dilulurnya lagi. Meski nasi itu sedikit dan telah begitu lumatnya. Diminumnya air cepat-cepat, hingga ia tersedak.

Orang tua itu menyangka, setelah tiga hari berlalu, persoalan Hasibuan beres sudah. Menurut sangkanya, gadis itu telah kembali ke keluarganya. Atau sudah masuk rumah sakit gila. Karena selama tiga hari itu, tiada tanda-tanda adanya kesulitan pada air muka Hasibuan. Dan ia sebagai orang tua, tak hendak menyinyiri urusan orang lain. Anak muda itu sendiri, tampaknya tak lagi hendak bicara tentang soal itu. Ia yakin benar, nasihatnya telah diikuti dengan betul, hingga soalnya sudah lewat seperti angin lalu.

Tapi pada hari keempat, Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan. Sangkanya, tentu anak muda itu mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan kantor saja. Ia menunggu anak muda itu meminta nasihatnya yang berharga lagi. Tapi alangkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu masih berkisar pada soal gadis itu juga.

"Jadi kau dituduh keluarganya telah menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk mengawininya? Ini tentang suatu pemerasan. Ha," kata orang tua itu. Kemudian disandarkannya lagi punggungnya ke kursi dan diisap lagi cangklongnya."Keluarganya yang datang ke kantormu tadi itu, tentu tidak seorang, bukan? Tentu tiga orang sekurang-kurangnya."

"Lima orang," kata anak muda itu cepat.

"Semuanya tentu laki-laki. Lai-laki itu tentu seperti kingkong besarnya, bukan?"

"Demikianlah."

"Nah ini terang suatu pemerasan. Tidak boleh tidak," katanya lagi. Kemudian punggungnya yang tersandar ditariknya lagi. Dicabutnya cangklong dari mulutnya, lalu ditodongkan kepada Hasibuan, seraya berkata, "Kau seorang laki-laki. Seorang laki-laki tak dapat dipaksa oleh siapapun untuk mengawini seorang perempuan, kalau ia tak mau. Apalagi kalau laki-laki itu tidak pernah mengganggu perempuan itu. Kau tidak pernah mengganggu gadis itu,bukan?"

"Tidak pernah," jawab anak muda itu.

"Nah, kau dipihak yang benar. Meski perkaramu ini akan sampai ke pengadilan sekalipun, tak satupun pengadilan yang mampu menghukum. Malah kau pun dapat menuduh mereka itu ke pengadilan. Jangan kau takut. Kau dapat mengadukan mereka itu ke polisi dengan tuntutan pemerasan dan ancaman. Nanti, bila perlu kutolong kau. Aku kenal kepala polisi di sini. Kenal baik. Jaksa, anak temanku sedari kecil. Nah, nasihatku dalam hal ini, jangan kautunjukkan dirimu mempan oleh gertakan kepada buaya-buaya itu. Jika perlu kau pun dapat mengeluarkan ancaman kepada mereka. Jangan persukar soal itu dalam pikiranmu. Persenang sajalah hati."

Tapi hati anak muda itu tak dapat disenangkannya. Ia begitu gelisah. Ada hal-hal yang hendak dikatakannya lagi. Karena ia tak pernah menyerahkan gadis itu kepada polisi. Malah, baru saja ia menyuruh gadis itu pulang ke keluarganya di desa, gadis itu telah meraung-raung seraya memagut kakinya erat-erat. Meminta belas kasihannya agar membiarkan dia tetap di situ, di sampingnya. Dan hatinya jadi lintuh. Dan bersamaan dengan itu hatinya pun jatuh pula kepada gadis itu. Itu hendak dikatakannya kepada orang tua itu, tapi ia tak berani mengatakannya.

Kegelisahannya itu dilihatnya. Lalu ia berkata lagi meluncurkan nasihatnya: "Ah, tak usah gelisah, ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua. Dan orang tua, seperti aku ini, telah lama hidup dan telah banyak pengalaman. Tak usah gelisah. Nanti aku tulis surat kepada kepala polisi, temanku itu. Aku minta ia menjaga keselamatanmu dari pemerasan dan ancaman itu. Senang sajalah."

Namun hati anak muda itu belum juga tentram. Itu dilihat oleh orang tua itu, maka tersenyumlah ia. Seperti senyuman seorang insinyur melihat perdebatan kuli-kuli tentang suatu bangunan. Tapi sebagai orang tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan, ia tidak hendak melecehkan kesukaran orang lain. Meski kesukaran itu hanyalah tetek bengek belaka. Dan senyumnya lekas-lekas dikulumnya. Dan sebagai orang tua, yang lebih tahu segala hal, ia dapat memahami betapa kesukaran itu mengamuki hati seseorang. Karena itu ia pun tahu bagaimana menasihatinya, hingga nasihatnya menjadi benar-benar berharga dan dapat diikuti dengan mudah. Menurut sangkanya, anak muda itu sedang dalam keadaan terjepit. Ia tahu, Hasibuan sedang dalam percintaan dengan seorang gadis. Itu dapat dilihatnya kemarin malam. Hasibuan berjalan demikian mesranya di samping gadis itu. Taksirannya, kalau gadis itu tahu betapa halnya Hasibuan dengan gadis desa yang ditemuinya di atas bis dulu itu, tentu si gadisnya ini akan menyayangkan hal-hal yang bukan-bukan.

"Haa," katanya tiba-tiba. "Aku tahu kesukaranmu yang selalu menggelisahkanmu itu. Jangan kausangsikan. Ikutilah nasihatku. Aku dapat mengerti segala hati. Karena aku sudah tua, telah lama hidup dan sudah banyak pengalaman. Pada air mukamu yang muda itu, dapat aku baca semua. Mengaku sajalah kepadaku. Jangan bersembunyi lagi, kepada orang tua ini. Takkan baik akibatnya. Mengaku sajalah. Kau sedang bercinta dengan seorang gadis, bukan? Ah, jangan membantah. Kau bawalah gadis itu ke sini. Dan jangan lupa, gadis yang sedang mencuri hatimu itu. Bawa dia kesini. Nanti aku dapat menyelesaikan kesukaranmu dengan mudah. Ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua yang telah banyak pengalaman ini. Bawa dia besok, ya."

Gembira benar hati orang tua itu, ketika Hasibuan membawa gadis itu ke rumahnya untuk diperkenalkan kepadanya. Banyaklah bicara dan ketawanya. Banyaklah nasihat-nasihat tentang kehidupan rumah tangga. Di saat yang seperti itu, orang tua itu memanglah merupakan orang tua yang paling menyenangkan.

Dan ketika ia sedang berdua saja di ruang tamu, orang tua itu mengalih duduk di dekat Hasibuan. Seperti ada suatu rahasia saja, ia bicara dengan berbisik. "Pilihanmu tepat kali ini. Cantiknya, melebihi gadismu yang khianat dulu. Lihatlah. Tentang ini aku tidak silap. Perhatikanlah. Ketika dia datang tadi, ia salami aku. Itu biasa. Tapi dia terus menanyakan Ibumu dan menemuinya ke belakang. Ini luar biasa. Tertibnya bagus sekali. Kemudian dia sendiri yang menating teh buat kita, seperti rumah ini rumah orang tuanya saja. Ini sungguh menakjubkan. Anak baik dia ini. Dalam seribu, jarang satu seperti dia. Meskipun begitu, mataku yang tua ini, mata yang telah banyak melihat ini, masih dapat menangkap suatu kekurangannya. Dalam hal ini aku tak silap. Kekurangannya itu masih dapat diperbaiki. Asal dia mau mengikuti nasihat-nasihatku kelak."

Setelah ia menghidupkan api cangklongnya, orang tua itu meneruskan bicaranya. "Dengarlah nasihatku lagi. Nasihat orang tua yang banyak pengalaman ini. Nasihatku, kawini dia lekas. Jangan tunggu lama. Jangan biarkan angin jahat masuk, seperti yang pernah kaualami dulu."

"Memang rencanaku demikian, Pak," kata anak muda itu.

"Bagus. Bagus. Tapi nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang tuanya. Birkan orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau," kata orang tua itu.

"Keluarganya sudah datang kepadaku."

Tiba-tiba orang tua itu seperti kena listrik. Ia merasa seolah-olah telah dilampaui begitu saja. Tapi pikirnya kemudian, barangkali Hasibuan belum memberi putusan kepada keluarga gadis itu. Tak percaya ia, bahwa Hasibuan akan memutuskan begitu saja tanpa minta nasihatnya.

"Tapi aku percaya," katanya kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya lagi. "Kau tentu cukup bijaksana, bukan?"

"Ya. Sebagaimana nasihat Bapak, perkawinan akan dilaksanakan dalam minggu ini juga." Hasibuan berkata tanpa memperhatikan gelagat orang tua yang sekali lagi disengat listrik. Tak tahu ia muka orang sudah jadi pucat dan badannya gemetar. Lalu katanya lagi, "Gadis itulah yang kutemui dalam bis baru-baru ini, Pak."

Sekarang listrik yang menyengat naik beberapa kilowatt lagi. Mukanya yang pucat jadi biru. Ditatapnya Hasibuan dengan mata tajamnya lalu cepat ia berdiri dari duduknya. Dan bibirnya bergerak-gerak seperti hendak memaki.

Tapi Hasibuan yang tidak melihat perubahan itu, bertanya lagi dengan wajah yang malu tersipu: "Apa nasihat bapak dalam hal ini?"

Sekali ini nasihat itu tak keluar dari melalui mulutnya yang peramah, seperti biasanya. Hanya pintu kamar tidurnya yang berdentang kencang dibantingnya dari dalam.

Dari Masa ke Masa

Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau pada bapak sekalian bapak.

Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.

"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.

"Itu risiko kami," kata saya menimpali.

"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.

"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.

"Proklamasi telah lebih dulu merestui mereka. Malah menganjurkannya," kilah orang yang selalu suka memberi saran itu.

Biasanya kami jadi bimbang. Lalu terpaksa jugalah kami boyong ke rumah semua orang-orang tua yang patut-patut itu.

Anak-anak muda waktu saya muda dulu punya kegiatan yang macam-macam jika tidak ikut memanggul senjata. Misalnya bikin sandiwara, ikut diskusi, mengadakan kursus, pameran. Bahkan juga pasar malam. Untuk setiap jenis kegiatan itu selalu saja ada orang tua-tua yang dikatakan ekspert untuk memberi nasihat dan restu sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Macam-macam cara masing-masing mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang hangat sambutannya. Misalnya dengan salaman pakai guncangan tangan atau tepuk-tepuk di bahu kami. Ada yang lagi asyik menulis terus setelah tahu kami datang. Juga ada yang baru muncul setelah sejam kami menunggunya di ruang tamu.

Pada umumnya oleh orang tua-tua itu kami diberi wejangan yang tak pernah pendek-pendek, selalu panjang berjela-jela sampai pantat kami gelisah, bukan karena penat saja, tapi juga karena digigit kepinding, sejenis kutu busuk yang dikatakan bangsat oleh orang Jakarta. Bukan main dongkolnya kami. Lebih-lebih saya yang memang pendongkol nomor satu di antara teman-teman. Betapa tidak. Sudah menunggu begitu lama, lalu diberi wejangan panjang-panjang yang sering tidak ada sangkut-pautnya dengan umsan kami, lalu digigit kepinding pula. Sungguh jahanam bangsat itu.

Kata saya dalam hati, kalau teman-teman kami yang prajurit itu harus menerima wejangan sepanjang itu bila hendak pergi ke front, pastilah serdadu musuh sudah menanti di balik pintu.

Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.

Betapa tidak enaknya diperlakukan demikian, namun prosedur memuliakan orang tua-tua itu tak dapat dihindarkan, kalau kami mau aman dalam kegiatan kami.

Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka. Lebih susah lagi, kalau kami berhasil dengan gemilang dalam melaksanakan kegiatan kami. Kami akan selalu direpotkan orang tua-tua itu. Malah tambah sering kami sukses, tambah repotlah kami. Mereka pada mendesak kami agar memintanya menjadi penasihat kamilah, pelindung kamilah. Bahkan ada di antara mereka yang bergembar-gembor ke mana-mana, bahwa kami adalah anak-asuhannyalah, kadernyalah. Claim mereka itu bukan menyenangkan, malahan sangat menyulitkan kami. Sebab pada waktu saya muda dulu, partai-partai sangat banyak. Dan mereka semua saling sengit dalam berjor-joran. Kalau satu orang telah kami minta jadi penasihat kami, atau biarkan mereka "meng-claim" kami, maka orang lain yang berlainan partai akan membilang kami sebagai "mantel" partai anu, sehingga orang partai lain bisa sakit hati. Tak jarang terjadi kami terkena intrik dari pihak yang tidak suka. Hal-hal yang memang membingungkan, menyusahkan, bahkan juga menimbulkan kecewa dan mematahkan semangat. Dan saya jadi tambah dongkol lagi.

Waktu saya muda dulu, suatu sukses bukanlah hal yang menyenangkan. Kalaupun ada kesenangan, saatnya sangatlah pendek sekali. Yaitu hanya ketika sukses itu terjadi. Habis itu, kesukaranlah yang datang bertalu. Kesukaran yang menyakitkan. Karena setiap sukses yang kami peroleh selalu mengundang perpecahan di kalangan kami sendiri. Mulanya saya tidak tahu, kenapa setiap sukses selalu membawa bencana. Tapi lama-lama saya mengerti juga. Dan itu mencengangkan saya benar. Menurut analisanya ialah begini. Setiap anak muda yang berhasil atau suatu organisasi yang sukses, selalu ada tangan orang-orang tua itu ingin mencaplok untuk memasukkan kami ke dalam mantelnya. Kalau organisasi kami tidak bisa mereka caplok secara utuh, maka anggota kamilah yang mereka preteli seorang demi seorang. Terutama anggota yang potensial, kalau tidak anggota pengurus. Ada banyak yang berhasil dicaplok atau dimanteli.

Setelah sukses demi sukses tercapai, organisasi yang waktu didirikan berdasar semangat kesatuan hati untuk mencapai cita-cita bersama, lalu menjadikan organisasi itu sebagai wadah tempat kami saling cakar-cakaran. Setiap rapat selalu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat lagi. Setiap pengurus, lebih-lebih ketua, selalu menjadi bulan-bulanan serangan anggota. Kesatuan hati semula, akhirnya membentuk hati yang satu-satu. Ada yang ngambek, lalu mundur tanpa teratur. Organisasi yang mulanya menimbulkan kebanggaan di dalam hati kami masing-masing, lalu berubah menjadi tempat melampiaskan segala kutukan. Beberapa orang yang gigih mencoba untuk bertahan, tapi praktisnya organisasi kami tidak berdarah lagi. Kegiatan lama-lama sirna. Yang tinggal hanya nama yang tertera pada papan yang tergantung dan terbuai-buai bila ditiup angin.

Saya termasuk orang yang menangisi keadaan itu. Dan, dalam hati saya, bila saya telah menjadi orang tua kelak, apa yang tidak saya sukai ketika saya muda, takkan saya lakukan seperti apa yang dilakukan orang tua-tua ketika saya masih muda dulu. Begitu menyentak datangnya, ketika orang-orang muda secara bergelombang menemui saya minta restu, minta nasihat, minta pendapat, dan juga minta bantuan uang dan tanda tangan. Saya menoleh ke sekeliling, terutama pada teman sebaya saya, yang dulu sama giatnya dengan saya. Saya boleh mengembangkan dada menjadi orang yang dikagumi, dihormati. Memang menyenangkan bila punya status demikian. Tapi lebih menyenangkan lagi apabila menjadi tempat hidup orang menggantung, menjadi setiap kata yang dikatakan menjadi hukum yang tak boleh disanggah. Namun lebih nikmat rasanya apabila secara diam-diam saya mendengar orang-orang muda itu berkata pada teman-temannya, "Sudah bicara pada Pak Navis? Belum? Jangan bikin apa-apa dulu sebelum bicara padanya?"

Akan tetapi orang-orang muda sekarang berbeda jauh dari orang-orang muda masa dulu. Pendidikan orang muda sekarang lebih tinggi, ayah-ayah mereka lebih kaya bahkan lebih berkuasa. Karenanya fasilitas mereka lebih punya. Omongan mereka lebih ceplas-ceplos. Bagaimana saya harus menghadapi mereka agar saya kelihatan tetap potensial? Lalu saya teringat pada orang tua-tua masa saya muda dulu. Gaya ramah-tamah Pak Tamin yang orang partai itu, sekarang tak laku lagi karena partai pun tidak laku. Gaya orang pandai seperti Guru Munap juga tak mungkin lagi, sebab sekarang sudah banyak sekali orang yang lebih pandai dari segala orang pandai-pandai dulu. Jika memakai gaya pejabat, tapi saya bukan pejabat dan karenanya saya tidak mungkin menggunakan peran sebagai orang yang berwibawa tinggi.

Saya juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri. Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. Dan itu tidak mudah diperolehnya karena bersifat sangat individual. Karena itulah barangkali umur orang-orang muda sekarang lebih panjang, sampai berusia empat puluh tahun.

Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang. Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju.

"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.

"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.

"Ya. Saya lakukan."

"Kenapa?"

"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."

"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya."

"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya membalikkan alasannya.

"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya itu seraya membelalakkan matanya.

Tiba-tiba ketawa saya meledak, sehingga air mata saya pun berderai-derai. Lalu matanya yang membelalak jadi menyipit sebelum bertanya kenapa saya ketawa.

"Kinilah saya baru tahu, kerjaan kita yang terutama sekarang ialah membenahi akibat kerja kita masa lalu," kata saya yang masih belum dapat menghentikan ketawa.

Dan sobat saya itu memang diplomat, karena ia tersenyum saja oleh kata-kata saya itu. Seperti senyum anak-anak saya bila melihat bintang favoritnya tampil dalam acara terfavorit di televisi.

 
Terima Kasih Banyak Telah Mengunjungi CLICKdeh.blogspot.com